Sengkon Dan Karta Adalah
Pria paruh baya yang tak diketahui namanya itu berteriak saat penasihat hukum Jessica Wongso membacakan pleidoi.
Seperti kebiasaan yang sudah, bila mereka hendak ke Lembaga Pemasyarakatan Cipinang mem-bezoek Karta dan Sengkon, pagi buta, harus bangun menyiapkan nasi sebagai oleh-oleh. Kemudian berangkat pukul 06.00 WIB naik kendaraan umum dari Pondok Gede.
Karta yang semula tinggal di Kampung Cakung Payangan dan Sengkon yang bermukim di Pondok Rangon, sampai kemarin siang menghuni LP Cipinang sebagai narapidana yang dipersalahkan merampok serta membunuh Sulaeman suami-istri. Peristiwa ini terjadi tahun 1974 di Desa Bojongsari, Pondok Gede, Bekasi.
Baca juga: Mendesain Ulang Peninjauan Kembali
Ketika keduanya mulai menjalani hukuman di LP Cipinang, mereka berjumpa dengan Gunel yang masih punya hubungan darah dengan Sengkon. Gunel berada di Cipinang atas kesalahannya melakukan pencurian. Kepada Sengkon, ia mengaku sebagai pelaku perampokan di Bojongsari dan menewaskan suami-istri Sulaeman. Bulan Oktober lalu, Gunel dan kawan-kawan dijatuhi hukuman atas kesalahannya merampok di rumah Sulaeman tersebut.
Setelah keluar putusan atas diri Gunel Cs, timbul pelbagai tanggapan dari kalangan ahli hukum, baik kalangan hakim, advokat, dan sebagainya. Umumnya menginginkan agar Karta dan Sengkon dikeluarkan dari lembaga, sambil menunggu upaya hukum terbaik untuk “memperbaiki” putusan yang menyatakan mereka bersalah.
Berita bebasnya Sengkon dan Karta dengan judul "Sengkon dan Karta Bebas" yang terbit di Harian Kompas, edisi Rabu, 5 November 1980.
Tanggal 3 Nopember 1980 lalu, Kepala Kejaksaan Negeri Bekasi Artomo Singodiredjo SH mengajukan permohonan kepada Kepala LP Cipinang minta “schorsing” pelaksanaan hukuman bagi Karta dan Sengkon. Diuraikan bahwa Kejaksaan berusaha mencari upaya hukum atas kekeliruan tersebut. Sambil menunggu upaya tadi, Karta yang dijatuhi hukuman 7 tahun dan Sengkon 12 tahun dimohon dapat dikeluarkan dahulu dari lembaga dengan status “schorsing” menjalani hukuman.
Permohonan itu dikabulkan oleh Jaksa Agung Ali Said SH, yang mengirim surat kepada Menteri Kehakiman dan Ketua Mahkamah Agung dengan maksud yang sama.
Permohonan dikabulkan
Drs. R Soegondo, Sekretaris Ditjen Pemasyarakatan, menjelaskan kepada pers kemarin siang bahwa setelah permohonan dibahas oleh Dewan Pembina LP Cipinang segera diteruskan ke pusat. Dirjen Pemasyarakatan mengabulkan permohonan dengan pengertian bahwa pidana atas diri Karta dan Sengkon bukan berarti hapus.
Kepala Kejaksaan Negeri Bekasi menjawab pertanyaan wartawan mengatakan, langkah yang ditempuh sekarang ini merupakan “penundaan”. Bukan menghapus putusan Hakim yang sudah berkekuatan pasti, sambungnya. Putusan itu tetap berlaku sampai sekarang sambil menunggu upaya hukum yang akan ditempuh untuk membebaskan kedua narapidana tadi, demikian Artomo.
Sementara itu, Mahkamah Agung kemarin siang juga mengeluarkan siaran pers yang menegaskan bahwa permohonan Jaksa Agung tentang diri Karta dan Sengkon dikabulkan. Persetujuan Mahkamah Agung ini adalah merupakan hasil pembahasan dengan Departemen dan Kejaksaan Agung. “Sambil menunggu upaya hukum formal yang akan ditempuh menyetujui penghentian sementara dari menjalani hukuman kedua terhukum tersebut”.
Karta sampai di rumahnya di Pondok Rangon, Jakarta Timur, 4 November 1980, usai terbebas dari penjara
Karta dan Sengkon sampai jam 12.00 kemarin belum mengetahui tentang “nasib baik” yang datang pada diri mereka. Pagi harinya kedua narapidana tersebut dikunjungi Dirjen Pemasyarakatan, Ibnu Susanto SH. Pejabat tinggi ini tidak memberitahu tentang “pembebasan”, juga tidak mensyaratkan sesuatu kepada Karta dan Sengkon. Ia hanya pesan agar “baik-baik saja”.
Istri Karta dan Sengkon beserta beberapa anggota keluarga yang “membezoek” kemarin mendadak jadi gembira sekali memperoleh pemberitahuan bahwa Karta dan Sengkon akan dikeluarkan dari lembaga.
Mukanya segar berseri-seri, Karta cepat-cepat berganti pakaian. Sengkon yang dirawat di rumah sakit di dalam LP Cipinang segera ditolong para perawat berganti pakaian. Jam 14.10 mereka diajak keluar tembok. Karta naik colt sedangkan Sengkon diangkut dengan ambulans. Hampir-hampir Sengkon tak sadarkan diri.
Baca juga: Ketika Koruptor Ramai-ramai Ajukan Peninjauan Kembali
Kendaraan yang membawa mereka beriringan menuju Bekasi. Sebenarnya, untuk mencapai rumah Karta maupun Sengkon bisa memintas lewat Lobang Buaya terus Pondok Gede, dan dari daerah ini tinggal sekitar 3 kilo ke arah selatan. Tetapi, karena Sengkon harus diopname, maka mereka ke RSU Bekasi dulu. Di rumah sakit itulah Sengkon “didrop”, lalu para petugas Kejaksaan bersama petugas dari lembaga melanjutkan perjalanan ke Pondok Rangon mengantar pulang Karta.
Karta terpaksa “pulang” ke rumah orangtua angkatnya di Kampung Pondok Rangon, sebab rumah dan tanahnya sudah habis dijual buat biaya hidup anak bininya selama ia berada di lembaga. Ketika pers bertanya mau pulang ke mana, Karta agak kebingungan menjawab “belum tahu mau pulang ke mana”. Akhirnya ke rumah engkong Leget di Pondok Rangon itulah petugas mengantar Karta “pulang”.
ilustrasi. Hakim berdiskusi dengan jaksa saat persidangan permohonan peninjauan kembali yang diajukan narapidana kasus cessie Bank Bali, Joko Tjandra di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Senin (27/7/2020).
Setelah rumah dan tanahnya terjual, keluarga Karta ikut ibunya ke Kampung Bojongsari. Tetapi, baik Karta maupun Sengkon selama menjalani hukuman telah menitipkan keluarga kepada kakek tersebut. Bahkan kalau ada kesulitan, Leget yang ikut memecahkan bersama Nadi, adik Karta.
Kepala Kejaksaan Negeri Bekasi mengantarkan sendiri ke rumah sakit serta meminta agar dokter merawat Sengkon baik-baik. Semua biaya akan ditanggung Kejaksaan. Bekas “jawara” dari Bekasi yang kini sakit TBC itu sebetulnya ingin segera pulang ke kampung halamannya di Pondok Rangon. Rumah Sengkon hanya sekitar 50 meter dari rumah Leget. Tetapi, Artomo mengatakan bahwa Sengkon perlu dirawat dulu sampai sembuh.
Selesai diperiksa keadaan kesehatannya, Sengkon diangkut ke kamar rawat. Ia tampak gembira sekali. Sambil duduk, Sengkon meminta jeruk pada isterinya. “Ini ada uang,” tuturnya sambil menyodorkan satu lembar ribuan. Katanya, uang itu diperoleh dari narapidana Bandi yang sekamar dengannya.
Baca juga: Pintu Masuk Koruptor Peroleh Hukuman Ringan
Kepala Kejaksaan Negeri Bekasi memberi sumbangan Rp 20.000 kepada isteri Sengkon, Tuni. “Berdoalah kepada Allah,” kata Artomo. Tuni dinasehati agar tetap tenang, tak usah gelisah.
Ketika rombongan tiba di Pondok Gede mengantar Karta, Tripida Kecamatan setempat menyambut di kantor Kelurahan Jatiluhur bersama masyarakat. Camat dalam kesempatan tersebut mengucap syukur atas kembalinya Karta dan Sengkon. Kepada masyarakat yang berkerumun, Camat bertanya apakah mau menerima kedatangan kedua warga itu? Masyarakat menjawab serentak, “Bersedia”.
ilustrasi. Hakim Ketua Mulyadi yang memimpin jalanya persidangan peninjauan kembali untuk kasus penodaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama, di Pengadilan Jakarta Utara (eks Pengadilan Jakarta Pusat), Jalan Gadjah Mada, Jakarta Pusat, Senin (26/2).
Pertanyaan ini mungkin dimaksudkan untuk “mendamaikan” dan mengembalikan suasana kekeluargaan. Sebab, Karta dan Sengkon dahulu ditangkap setelah ada “surat pernyataan” masyarakat yang menghendaki kedua orang itu ditangkap dan diusut sebagai pelaku perampokan di rumah Sulaeman.
Jam 18.10, rombongan pengantar Karta tiba di rumah kakek Leget. Ibu angkatnya terkejut mengetahui Karta pulang. Ia merangkul erat sekali sambil mengucurkan air mata.
Baca juga: Baiq Nuril Ajukan Peninjauan Kembali
Harapan Ketua Mahkamah Agung
Ketua Mahkamah Agung Prof Oemar Seno Adji SH kemarin siang menerima Albert Hasibuan SH di ruang kerjanya. Anggota DPR (Komisi III) tersebut menghadap Ketua Mahkamah Agung setelah mendengar bahwa Karta dan Sengkon akan dikeluarkan dari lembaga.
Albert-lah yang akhir-akhir ini giat mengumpulkan data dalam usahanya mencarikan upaya hukum untuk membebaskan Karta dan Sengkon. Kemarin siang menurut rencana ia akan menghadap Jaksa Agung. Tetapi niat ini urung karena Jaksa Agung ada acara lain.
Ilustrasi. Korban pelecehan seksual Baiq Nuril bersama anaknya, Rafi sujud syukur saat anggota DPR secara aklamasi menyetujui pemberian amnesti terhadap dirinya, Kamis (25/7/2019). Sebelumnya, Nuril mengajukan amnesti setelah Mahkamah Agung menolak permohonan peninjauan kembali yang diajukan.
Ketika menerima Albert, Prof Oemar Seno Adji didampingi oleh Hakim Agung Djoko Soegianto SH, Panitera Agung (Sekjen) Rafly Rasyad SH, dan Kepala Bagian Pidana Soedirjo, SH.
Dengan adanya kasus Karta dan Sengkon, Ketua Mahkamah Agung berharap nanti dalam Hukum Acara Pidana (HAP) yang baru (kini tengah digodok di DPR), masalah herziening, rehabilitasi, serta ganti-rugi diatur sesempurna mungkin. Sehingga, bila ada kasus serupa dengan kasus Karta - Sengkon sudah tak perlu kebingungan lagi.
Persetujuan Mahkamah Agung untuk “menghentikan sementara” bagi Karta dan Sengkon menjalani hukuman, menurut Prof Oemar Seno Adji, karena Mahkamah Agung dan aparat bawahannya juga mempunyai fungsi sebagai pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pengadilan. Untuk masalah dan fungsi ini pun ia berharap HAP yang baru nanti mengatur sebaik-baiknya. (sha/tsp/amd)
Arsip Kompas bagian dari ekshibisi “Indonesia dalam 57 Peristiwa”, 28 Juni 2022.
100%100% menganggap dokumen ini bermanfaat, Tandai dokumen ini sebagai bermanfaat
0%0% menganggap dokumen ini tidak bermanfaat, Tandai dokumen ini sebagai tidak bermanfaat
Berpulangnya Albert Hasibuan, Pengacara di Balik Bebasnya Sengkon-Karta
Albert Hasibuan juga seorang dosen, tokoh media, dan pernah menjadi anggota Wantimpres, anggota DPR hingga anggota Komnas HAM.
URUSAN hukumnya memang belum jernih. Tapi bagi Sengkon dan Karta, hal itu tak penting benar. Keluar dari bui saja, sore 4 November lalu, sudah merupakan sesuatu yang patut disyukuri mereka Adakah yang lebih penting dari kebebasan, setelah meringkuk selarna 6 tahun dalam tahanan dan penjara -- tanpa dapat membantah sesuatu tuduhan yang tak pernah mereka perbuat? Sengkon, 50 tahun, setelah keluar dari penjara Cipinang, tergeletak di rumah sakit di Bekasi. Batuk TBC-nya menyiksa tubuhnya yang kurus kering. Ia, katanya, tak tahu siapa yang mengusahakan pembebasan baginya. "Saya lagi dipijat teman-teman di penjara, ketika petugas datang memberitahu saya boleh bebas hari itu juga," katanya. Ia keluar dari penjara diusung dengan tandu. Padahal, waktu itu, katanya "saya tidak berharap lagi akan melihat dunia ini" Gunel sebelumnya telah mengaku kepadanya telah merampok dan membunuh suami istri Sulaiman. "Kepada siapa saya harus mengadu --dari dulu sudah saya katakan, saya tidak bersalah, tapi tak ada yang mau percaya?" Setelah salat Jumat, minggu lalu, Karta, 45 tahun, pulang ke rumah tumpangannya di Cakung, Jakarta. Ia memandang sebidang tanah, sekitar 5.000 meter, yang terletak di sebelahnya. Tanah itu dulu miliknya, yang digadaikan kemudian dijual oleh istrinya, "untuk makan keluarga dan mengurus perkara saya," kata Karta. Dan "sekarang saya bingung, tidak punya apa-apa lagi." Yang berat lagi, katanya, "anak-anak saya jadi putus sekolah." Yang akan dilakukannya adalah berusaha memperoleh tempat berteduh. "Tak mungkin harus menumpang terus," katanya. Ia tak merasa dendam kepada orang-orang--juga yang memberikan kesaksian palsu --yang menjebloskannya ke bui. "Saya hanya berterimakasih kepada Pak Albert yang mengurusi saya. " Albert Hasibuan yang mengurus dan kemudian melepas mereka dari penjara (LPK) Cipinang (Jakarta). Pengacara dan Anggota Komisi III/DPR ini yang membeberkan kasus Sengkon dan Karta. Kedua orang desa di wilayah Bekasi itu sebelumnya dituduh menggarong dan membunuh suami istri Sulaiman (1974). Betapa pun mereka membantah, polisi tetap memaksa dengan kekerasan, sehingga akhirnya perigadilan mempidana 12 tahun penjara tellhadap Sengkon dan 7 tahun bagi Karta. Adalah Gunel, 35 tahun, narapidana LPK Cipinang, yang tiba-tiba mengaku sendiri melakukan kejahatan terhadap keluarga Sulaiman. Pengakuan itu digarap sebaik-baiknya oleh seorang keluarga Karta yang kebctulan ahli hukum. Pengadilan di Bekasi menghukum Gunel 12 tahun penjara atas pengakuan terdakwa sendiri menggarong dan membunuh suami istri Sulaiman (TEMPO, 1 November). Bebaskah Karta dan Sengkon karenanya? Tak begitu mudah. Albert Hasibuan ke sana ke mari mencari upaya hukum. Tapi terbentur padaurusan resmi: tak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh untuk memperoleh peninjauan kembali sesuatu keputusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan pasti seperti dalam kasus Sengkon dan Karta tersebut. Tapi jalan pintas akhirnya ditemukan. Mahkamah Agung, setelah berkonsultasi dengan departemen Kehakiman dan Kejaksaan Agung, 4 November lalu menyetujui "penghentian sementara" hukuman bagi Karta dan Sengkon . Hal itu ditempuh, menurut MA, "sambil menunggu upaya hukum formal yang akan ditempuh" kemudian. Upaya hukum apa? Ketua MA Prof. Oemar Seno Adji belum memilih. Hanya, kemungkinan yang tepat, "permohonan grasi dari pihak Scngkon dan Karta," katanya.. (Karta enggan minta grasi "Saya tidak bersalah . . . mengapa minta ampun?") Permohonan grasi atau pengampunan dari Prcsiden, menurut Ketua MA, tidah berarti pengakuan bersalah dari si pemohon. Sebab, katanya, di samping mengurangi masa hukuman, dalam grasinya Presiden bisa juga menghapuskan atau membatalkan hukuman sama sekali. "Kalau memang interpretasi grasi demikian," sambut A. Rachman Saleh dari LBH Jakarta, "boleh saja Sengkon dan Karta minta grasi". Tapi, menurut Hakim J.Z. Loudoe dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, permohonan "sebaiknya diajukan oleh pengadilan yang telah melakukan kekeliruan dalam memutus perkara." Namun yang terbaik, kata Loudoe, bila pengadilan melakukan peninjauan kembali perkara Sengkon dan Karta. Yaitu melalui lembaga herzeining. Lalu, katanya pula, memberi kesempatan kepada kedua orang itu untuk menuntut ganti rugi untuk penderitaannya selama dalam tahanan dan penjara. Bahwa lembaga herzeining dan ganti rugi belum diatur--belum ada peraturan pelaksanaan kendati undang-undangnya sendiri telah lama ada--menurut Loudoe tak boleh jadi hambatan. Begitu juga pendapat al1li lain. Albert Hasibuan mungkin bisa mencobanya untuk menmbantu Karta dan Sengkon sekali lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INILAH akhir "legenda" Sengkon dan Karta. Perjuangan untuk mencapai keadilan dengan menuntut rugi atas penahanan dan penghukuman terhadap petani dari Bojongsari, Bekasi, itu akhirnya kandas di Mahkamah Agung. Majelis Hakim Agung, yang diketuai Olden Bidara, menolak permohonan kasasi perkara itu. "Pemerintah tidak bijaksana. Padahal, saya sudah menderita karena - tanpa bersalah - ditangkap, ditahan, disiksa, dan kemudian menjalani hukuman di penjara selama enam tahun, keluh Sengkon bin Yakin, yang sampai kini menderita TBC menahun, di rumah mertuanya di Pondok Gede, Bekasi. Kisah Sengkon dan Karta - yang terakhir itu meninggal karena tertabrak truk, tiga tahun lalu - bagaikan legenda di dunia hukum. Sepuluh tahun lalu, kedua petani itu ditangkap polisi, karena diduga merampok dan membunuh orang sedesanya, Sulaiman. Mereka menyangkal semua tuduhan. Tapi mereka mengaku, konon, disiksa. Di Pengadilan Negeri Bekasi, tiga tahun kemudian, kedua petani itu tetap menyangkal tuduhan jaksa. Tapi, Hakim Djurnetty Soetrisno lebih mempercayai cerita polisi ketimbang bantahan kedua terdakwa. Oktober 1977, Sengkon divonis 12 tahun penjara, dan Karta 7 tahun. Putusan itu dikuatkan Pengadilan Tinggi Jawa Barat. Putusan hakim pun segera berkekuatan hukum pasti, karena Sengkon dan Karta tidak kasasi. Sengkon dan Karta pun resmi berstatus narapidana di LP Cipinang, Jakarta. Di tempat ini pula, Sengkon akhirnya terpaksa dirawat, karena diserang kuman TBC. Tapi di tempat ini pula kegelapan mulai tersingkap. Seorang penghuni LP, yang masih kerabat Sengkon, Gunel, mengaku sebagai pelaku perampokan dan pembunuhan yang sebenarnya. Sengkon dan Karta melaporkan pengakuan itu. Gunel kemudian diadili dan memang terbukti bersalah. Ia dihukum 10 tahun penjara. Kasus itu kemudian menggemparkan. Albert Hasibuan, anggota DPR dan pengacara, mengupayakan pembebasan kedua petani itu. Hasilnya, kasus Sengkon - Karta menyumbangkan sesuatu untuk perkembangan hukum: Mahkamah Agung menghidupkan lembaga peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang berkekuatan Dacti (herziening). Januari 1981, ketua Mahkamah Agung, Oemar Senoadji, memerintahkan kedua orang itu dibebaskan. Namun, kesalahan para penegak hukum terhadap kedua orang itu tidak tertebus hanya dengan herziening. Keluarga Karta, dengan dua istri dan 12 orang anak, kocar-kacir. Melarat. Sebab, menurut istri Karta, semua sawah dan tanah milik mereka telah dijual habis untuk biaya hidup dan "membiayai" perkara suaminya. Nasib Sengkon pun tidak banyak berbeda. Walau hanya menanggung beban seorang Istri dan tiga anak, Sengkon tidak mungkin meneruskan pekerjaannya sebagai petani, karena sakit TBC terus merongrongnya. Ketika ditemui TEMPO, pekan lalu, dengan air mata meleleh Sengkon berkata, "Saya hanya tinggal berdoa agar cepat mati, karena tidak ada biaya untuk hidup lagi." Tubuhnya yang kurus kering itu terguncang-guncang karena batuk. Berdasarkan semua itu, kuasa Sengkon, Murtani, merasa layak menuntut ganti rugi kepada pemerintah. Ia menuntut Departemen Kehakiman c.q. Pengadilan Tinggi Jawa Barat c.q. Pengadilan Negeri Bekasi untuk membayar ganti rugi sebesar Rp 100 juta. Tapi gugatan itu, Juli 1981, ditolak Pengadilan Negeri Bekasi. Alasan ketua Pengadilan Negeri Bekasi, (ketika itu) J. Serang, pengadilannya tidak dapat "mengadili dirinya sendiri". Alamat yang tepat untuk gugatan itu, Serang menganjurkan, adalah Pengadilan NegeriJakarta Pusat. Murtani mengulangi gugatan itu di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Namun, kembali berakhir sia-sia. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang diketuai Soebandi, menolak gugatan Sengkon-Karta itu. Alasannya, pengadilan tidak berwenang mengadili seorang hakim dalam menjalankan tugasnya. Keputusan itu pun dikuatkan Pengadilan Tinggi, Juli 1983. Upaya terakhir yang dilakukan Murtani, naik kasasi, ternyata kandas pula. Kasasi Sengkon-Karta ditolak Mahkamah Agung, karena Murtani terlambat memasukkan permohonan. Menurut hukum acara, permohonan sudah diterima Mahkamah Agung, 25 Oktober, dan Murtani baru menyampaikannya 26 Oktober 1983. "Majelis memang tidak memeriksa lagi materi perkara, karena syarat formal tidak terpenuhi," ujar Olden Bidara. Siapa yang salah ? Pengacara Murtani, yang mengaku tidak dibayar untuk mengurus kasus itu, menolak disalahkan. Sebab, katanya, keterlambatan itu disebabkan kesulitan anak Almarhum Karta mengurus "surat keteranan miskin" dari lurah. Padahal, surat itu perlu dilampirkan untuk meminta pembebasan biaya perkara. "Jadi, kalau mau cari yang salah, salahkan lurahnya," ujar Murtani. Tapi, seandamya syarat formal itu pun dipenuhi, menurut Murtani, kemungkinan menang bagi Sengkon dan Karta sangat tipis. "Kans untuk menang paling-paling hanya 10 persen," katanya. Hakim Agung Olden Bidara membenarkan hal itu. "Pengadilan negeri sudah menolak, pengadilan tinggi juga begitu. Nah, bisa diambil kesimpulan sendiri . . . ," kata Olden kepada TEMPO.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini